jpnn.com, JAKARTA - Indonesia diimbau untuk tetap tegas berpegang pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dalam mempertahankan kedaulatan di Laut Natuna Utara (LNU).
Hal ini menjadi perhatian utama dalam diskusi bertajuk “Hubungan Indonesia-China Pasca Joint Statement: Perspektif Diplomasi dan Keamanan” yang diselenggarakan oleh Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta, Kamis (23/1).
Diskusi yang menghadirkan sejumlah pakar, mantan Dekan Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan (Unhan) Mayjen TNI Dr. Ir. Puji Widodo, dan Kolonel Laut Dr. Panji Suwarno, membahas dampak pernyataan bersama antara Indonesia dan China, yang dirilis pada kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing pada November 2024.
Menurut Mayjen Puji, langkah diplomasi ini cukup strategis jika Indonesia tetap menjaga netralitas dan mengantisipasi potensi ancaman.
“Indonesia berhasil menavigasi hubungan dengan China dan negara Barat. Namun, potensi ancaman dari klaim China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di LNU tetap menjadi perhatian serius. Penebalan kekuatan TNI AL di wilayah rawan perlu dilakukan untuk memperkuat posisi kita,” ujar Mayjen Puji.
Kolonel Laut Dr. Panji Suwarno menambahkan, meskipun pernyataan bersama dapat meningkatkan kerja sama bilateral, Indonesia harus tetap waspada terhadap potensi manipulasi China yang dapat memengaruhi posisi Indonesia di ASEAN.
“Kita perlu berhati-hati agar tidak dianggap memihak China. Indonesia harus terus menegaskan sikapnya sesuai UNCLOS dan menjaga netralitas,” tegas Kolonel Panji.
Direktur Indomasive Fauzan Aminullah menekankan pentingnya mempopulerkan nama Laut Natuna Utara sebagai langkah strategis mempertahankan hak berdaulat Indonesia di kawasan tersebut.