jpnn.com, JAKARTA - Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mendorong semua pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali peran penting jurnalis dalam demokrasi Indonesia pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025.
Di tengah fokus terhadap nasib buruh di berbagai sektor, organisasi ini menekankan bahwa jurnalis sebagai pekerja intelektual sering luput dari perhatian dalam isu perlindungan dan kesejahteraan kerja.
"Peran jurnalis tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah pengawal demokrasi, pembawa suara masyarakat, serta pengungkap kebenaran dalam sistem hukum yang seringkali tertutup," kata Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil dalam keterangan tertulis, Kamis (1/5).
Namun sangat ironis, lanjut Kamil, kontribusi besar ini tidak sebanding dengan apa yang mereka terima. "Banyak jurnalis bekerja tanpa kepastian status kerja, tanpa asuransi keselamatan, bahkan dengan upah yang jauh dari layak," tambahnya.
Iwakum mencatat bahwa jurnalis di lapangan kerap menghadapi risiko tinggi, mulai dari intimidasi, kekerasan fisik, hingga gugatan hukum yang mengancam independensi mereka. Sayangnya, belum ada sistem perlindungan komprehensif yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan mereka sebagai pekerja profesional.
"Setiap hari, jurnalis mempertaruhkan keselamatan demi menyampaikan kebenaran kepada publik. Tetapi di balik layar, banyak dari mereka bekerja dengan kontrak lepas, tanpa jaminan sosial, dan bergantung pada honor yang tidak manusiawi. Ini adalah bentuk ketimpangan struktural yang perlu segera dibenahi," ujar Kamil.
Iwakum mendesak pemerintah, perusahaan pers, dan organisasi profesi untuk menjadikan May Day sebagai momentum memperjuangkan hak-hak jurnalis. "Kebebasan pers yang dijamin konstitusi harus diiringi dengan perlindungan nyata. Tidak cukup sekadar simbolik. Perlu ada kebijakan konkret yang menjamin hak-hak jurnalis dari sisi ekonomi, hukum, dan keamanan kerja," tegasnya.
Organisasi ini juga mendorong perusahaan pers untuk tidak hanya menuntut profesionalisme, tetapi juga memastikan sistem kerja yang adil. "Bagaimana mungkin kita bicara soal kualitas informasi dan integritas jurnalistik jika jurnalis terus bekerja dalam tekanan dan ketidakpastian?" kata Kamil.