jateng.jpnn.com, SOLO - Penanganan perkara dugaan tindak pidana dalam proyek pagar laut menuai sorotan tajam setelah penyidik Polri menolak petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengarahkan kasus ini ke ranah tindak pidana korupsi.
Pakar hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Muhammad Rustamaji menyatakan penolakan ini dinilai janggal dan berpotensi melemahkan integritas sistem peradilan pidana di Indonesia.
Menurutnya, tindakan penyidik yang menolak arahan JPU merupakan pelanggaran prinsip dasar dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Dia menegaskan dalam sistem hukum nasional, penyidik dan penuntut umum bekerja dalam satu kesatuan proses yang saling melengkapi, sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Jaksa yang bertanggung jawab membuktikan perkara di pengadilan. Maka, petunjuk dari jaksa seharusnya dipatuhi oleh penyidik. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk,” ujar Rustamaji dalam diskusi daring Jarcomm Nusantara Series IV bertema Polisi Tolak Petunjuk Jaksa dalam Kasus Pagar Laut. Ada Apakah? pada Jumat (2/5).
Dalam kasus Pagar Laut, Bareskrim Polri hanya menerapkan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Sementara Kejaksaan Agung meyakini adanya unsur tindak pidana korupsi dan telah memberikan petunjuk agar penyidik juga menjerat pelaku dengan Undang-Undang Tipikor.
Rustamaji menilai petunjuk dari Kejaksaan masuk akal, mengingat proyek Pagar Laut sepanjang 30,6 km itu diduga menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah dan melibatkan 20 perusahaan besar dengan 260 sertifikat hak milik (SHM) yang dinilai janggal.
“Kejaksaan tidak mungkin sembarangan memberi petunjuk. Jika Polri hanya berpegang pada Pasal 263, ini patut dicurigai. Logika hukumnya lemah untuk kasus sebesar ini,” ujarnya.