jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir mengungkapkan kekhawatiran atas kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Kekhawatiran ini muncul setelah Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/A/548/2025 tentang strategi pengendalian belanja dengan pemotongan anggaran kesehatan sebesar Rp19,6 triliun.
"Kesehatan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu negara. Ketersediaan layanan kesehatan yang optimal tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga produktivitas nasional," kata Tony di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (11/3).
Bertepatan dengan momen Hari Ginjal Sedunia 2025, KPCDI memandang perlu adanya peninjauan kebijakan efisiensi anggaran kesehatan secara lebih cermat.
Data menunjukkan, pemerintah Indonesia telah menjamin prosedur pencegahan, pemeriksaan, hingga pengobatan bagi 1,5 juta pasien gagal ginjal melalui program Jaminan Kesehatan Nasional.
Kemenkes tercatat telah mengeluarkan Rp2,9 triliun pada 2024 untuk pembiayaan penyakit gagal ginjal kronik, termasuk prosedur transplantasi ginjal.
Namun, tantangan utamanya yakni tentang mempertahankan kesehatan ginjal baru melalui ketersediaan obat imunosupresan (Takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan pasca operasi transplantasi.
Permasalahan muncul ketika terjadi pergantian merek Takrolimus yang sering terjadi di rumah sakit, menyebabkan variabilitas kadar obat dalam darah pasien dan meningkatkan risiko penolakan akut.