jpnn.com, TEHRAN - Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menuduh Amerika Serikat mengacaukan jalannya diplomasi nuklir dan mendesak negara-negara Eropa untuk menghentikan kebijakan usang yang mengandalkan ancaman dan tekanan.
Dalam konferensi video bersama mitranya dari Prancis, Jerman, dan Inggris -- serta Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa -- Araghchi menyatakan bahwa Washington secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir tahun 2015, yang dikenal dengan nama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yang sebelumnya telah dimediasi oleh Uni Eropa.
Ia menambahkan bahwa AS kembali meninggalkan meja perundingan bulan lalu dan malah memilih meningkatkan ketegangan militer, mengacu pada serangan udara AS terhadap sejumlah fasilitas nuklir utama Iran.
“Putaran pembicaraan baru hanya mungkin terjadi jika pihak lain siap menyepakati perjanjian nuklir yang adil, seimbang, dan saling menguntungkan,” tulis Araghchi dalam sebuah unggahan di X.
Araghchi juga menekankan bahwa jika Uni Eropa dan kelompok E3 -- yakni Prancis, Jerman, dan Inggris -- ingin memainkan peran konstruktif dalam pembicaraan, mereka harus “bertindak secara bertanggung jawab” dan mengesampingkan langkah-langkah seperti mekanisme “snapback,” yang menurutnya tidak memiliki dasar moral maupun hukum. (Snapback dalam konteks berita ini adalah pemulihan otomatis sanksi PBB atas Iran karena dianggap melanggar kesepakatan nuklir).
Ketentuan “snapback” dalam JCPOA memungkinkan para penandatangan untuk memberlakukan kembali sanksi PBB terhadap Iran jika negara itu terbukti melanggar isi kesepakatan.
Laporan terbaru menyebutkan bahwa ketiga negara Eropa tengah mempertimbangkan untuk mengaktifkan mekanisme ini pada akhir Agustus, yang memicu gelombang kritik dari Teheran, termasuk dari pejabat tinggi Iran.
Pekan lalu, Araghchi memperingatkan bahwa langkah tersebut akan menyebabkan “kerusakan yang tidak dapat diperbaiki” dalam hubungan Iran dengan ketiga negara Eropa itu.