jpnn.com - Angka putus sekolah (APS) di Indonesia menunjukkan tren mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, jumlah anak putus sekolah pada tahun ajaran 2023/2024 mencapai 78.468 anak.
Fenomena ini paling tinggi terjadi di jenjang SMA/SMK sederajat, dengan angka mencapai 1,02 persen. Sementara itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 menunjukkan bahwa meskipun 86,34 persen anak Indonesia sudah mengakses pendidikan tingkat atas, sebanyak 33,21 persen di antaranya mengakhiri sekolah sebelum lulus.
Data lain dari Kementerian Pendidikan pada Januari 2025 mencatat sekitar 730.703 murid SMP dinyatakan Lulus Tidak Melanjutkan (LTM).
Masalah ini bukan sekadar angka statistik; tetapi juga sebagai refleksi dari kegagalan sistem dalam menjamin hak pendidikan bagi setiap anak bangsa.
Faktor ekonomi menjadi penyebab utama anak-anak putus sekolah, dengan 76 persen keluarga mengaku tidak mampu membiayai pendidikan anak mereka, dan 8,7 persen di antaranya terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Susenas, 2021). Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari inklusif dan merata.
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan percepatan pembentukan Sekolah Rakyat sebagai respons terhadap peningkatan angka putus sekolah di Indonesia.
Kebijakan demikian, yang dikoordinasikan langsung oleh Kementerian Sosial, dinilai memberikan solusi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu yang masih dalam pengasuhan orang tua.
Akan tetapi di balik besarnya anggaran dan skema pembangunan masif, pertanyaan kritis muncul: apakah inisiatif ini benar-benar menjawab akar permasalahan atau sekadar tambal sulam kebijakan?