jpnn.com - Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi mengingatkan perlunya penegasan soal prinsip dasar undang-undang terkait rencana revisi UU Kejaksaan.
Prinsip dasar itu adalah due process of law, bahwa tidak boleh orang dirampas haknya, kecuali dengan hukum. "Kekuasaan seharusnya dibatasi, sehingga legislasi pada dasarnya untuk membatasi power," ujar Awan, di Auditorium Fakultas Hukum UGM, Selasa (18/3/2025).
Hal itu disampaikan Awan dalam diskusi bertajuk "Memperluas Kewenangan vs Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU TNI, RUU POLRI, dan RUU KEJAKSAAN)" yang digelar PANDHEKA Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Koalisi Masyarakat Sipil.
Diketahui bahwa perubahan UU Kejaksaan sebelumnya disahkan pemerintah pada 2021, dan sekarang undang-undang tersebut direvisi lagi dalam prolegnas 2025.
Menurut Awan, dalam UU Kejaksaan 2021 (revisi atas UU 2004): secara terminologi bila dibandingkan sudah agak bermasalah di dalam revisi tahun 2021.
Awan menilai definisi dalam UU 2004 telah baik, tetapi pada UU 11/2021, Kejaksaan adalah pemerintah (eksekutif), berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif), yang sudah melampaui skema pemilahan kekuasaan. "Ini kejaksaan sudah trans (melampaui) wilayahnya," ucap dia.
Dia menuturkan bahwa kekeliruanya kira-kira; Kekuasaan Kehakiman itu independen dan berada di yudikatif; sementara Kejaksaan itu pemerintah yang ada di lembaga eksekutif. Kejaksaan harus lapor ke Presiden yang termasuk dalam rumpun eksekutif.
"Jadi, sudah campur baur antara eksekutif dan yudikatif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi sistem hukum kita dan demokrasi," ujar Awan.