jpnn.com, SEMARANG - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia Nusron Wahid menyampaikan bahwa sekitar 19 persen dari total 2,2 juta hektare tanah di Jawa Tengah belum terpetakan.
Akibatnya, tanah-tanah tersebut belum tersertifikasi, sehingga rentan menimbulkan konflik agraria di masa depan.
"Ini bisa menjadi rentan konflik pada kemudian hari kalau tidak segera dipetakan dan disertifikasi. Dan ini butuh kolaborasi antara kami dengan Gubernur serta seluruh kepala daerah," ujar Nusron dalam rapat koordinasi dengan Gubernur, bupati, dan wali kota se-Jawa Tengah, Kamis (17/4).
Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga tengah melakukan pemetaan terhadap tanah-tanah tidak produktif dan tanah berstatus HGU maupun HGB yang telah habis masa berlakunya. Lahan-lahan ini ke depannya akan didayagunakan secara produktif melalui kerja sama lintas pemerintah daerah.
Pihaknya mengapresiasi komitmen para kepala daerah di Jateng yang aktif memfasilitasi investasi. Menurutnya, tanah menjadi faktor utama dalam menarik investor karena berkaitan langsung dengan lokasi, status hukum lahan, dan rencana tata ruang.
"Investor itu sebelum masuk pasti tanya lokasinya di mana, status hukumnya bagaimana. Ini semua berkaitan dengan tanah dan tata ruang yang menjadi domain kami," kata Nusron.
Namun, realisasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Jawa Tengah masih jauh dari target. Dari 322 RDTR yang menjadi target provinsi, baru 60 yang terealisasi. Nusron menyebut perlunya pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mempercepat penyusunan RDTR demi mendukung investasi.
"Kami akan komit menyelesaikan kekurangan RDTR ini dalam waktu tiga tahun. Prinsipnya harus tetap memperhatikan ketahanan pangan. Jangan sampai RDTR menabrak lahan sawah," kata Nusron.