jatim.jpnn.com, SURABAYA - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto menuai penolakan. Front Pembebasan Rakyat (FPR), komunitas demokrasi partisipatoris yang beranggotakan sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 dari berbagai kampus, menyatakan sikap tegas menolak rencana tersebut.
Mereka menilai pemberian gelar itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi mengaburkan sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang terjadi selama Orde Baru.
FPR menyampaikan gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada figur yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan hak asasi rakyat.
Menurut mereka, masa kekuasaan Soeharto justru dibangun di atas prahara 1965, ditandai oleh pembungkaman kebebasan sipil, korupsi sistemik, serta kekerasan terstruktur terhadap masyarakat sipil dan lawan politik.
Salah satu anggota FPR alumnus UNESA Agus Wiryono mengatakan sejarah tidak boleh dipoles demi kepentingan politik sesaat.
“Kami hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana ruang demokrasi dicabut dari rakyat. Penangkapan tanpa proses hukum, pembredelan media, dan represi kampus adalah bagian nyata dari kehidupan di bawah pemerintahan Soeharto. Mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional sama saja menutupi luka dan rasa kehilangan para korban,” ujar Agus.
Senada dengan itu, Heru Krisdianto aktivis lulusan Unair menyatakan pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi.
“Tahun 1998 bukan sekadar peristiwa politik, tetapi jeritan rakyat yang sudah tidak sanggup lagi menahan penindasan. Banyak kawan kami dipenjara, diculik, atau hilang hingga kini tak kembali. Gelar pahlawan itu tidak pantas untuk orang yang kekuasaannya berdiri di atas ketakutan,” kata Heru.



















































