jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Abdul Haris Fatgehipon menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada para mantan presiden seharusnya dipandang sebagai bentuk penghormatan negara kepada para pemimpin bangsa yang telah berjasa, bukan sebagai arena untuk memperpanjang luka sejarah atau menumbuhkan dendam politik.
Menurut Abdul Haris, secara spiritual almarhum Presiden Soeharto tidak membutuhkan gelar pahlawan nasional, karena doa dari bangsa Indonesia jauh lebih berarti.
Namun, secara kenegaraan dan moral kebangsaan, gelar tersebut merupakan simbol pengakuan terhadap peran penting setiap pemimpin dalam perjalanan panjang republik ini.
“Secara spiritual, Soeharto tidak membutuhkan gelar Pahlawan Nasional. Yang beliau butuhkan adalah doa agar diampuni segala khilafnya, tetapi, sebagai bangsa yang beradab, kita wajib menghormati jasa para pemimpin terdahulu dengan cara yang layak dan terhormat, salah satunya melalui gelar kenegaraan,” ujar Abdul Haris, Sabtu (8/11/2025).
Abdul Haris menegaskan sejarah tidak dapat dihapuskan hanya karena perbedaan politik.
Soeharto, kata dia, tetap memiliki tempat penting dalam perjalanan bangsa, mulai dari masa perjuangan hingga pembangunan nasional.
“Soeharto memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan. Ia turut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memaksa Belanda menandatangani Perjanjian Roem–Roijen, hingga akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar 1949,” terangnya.
Dia melanjutkan, sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga memimpin operasi pembebasan Irian Barat dan kemudian tampil di saat genting ketika bangsa ini terancam perpecahan akibat G30S/PKI.





















































