jpnn.com - Dalam konsepsi hukum pemilu Indonesia, Bawaslu didesain sebagai lembaga yang unik, bahkan mungkin juga satu-satunya di dunia.
Bawaslu tidak sekadar mata yang mengawasi, tetapi juga tangan yang memukul.
Namun, sebuah paradoks hukum terjadi, makin tebal regulasi yang dibuat untuk mencegah pelanggaran, makin canggih pula modus pelanggarannya.
Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan fundamental dalam teori penegakan hukum, mengapa aturan yang keras di atas kertas kerap lumpuh saat berhadapan dengan realisme politik?
Khususnya di wilayah dengan dinamika politik tinggi seperti DKI Jakarta, kita melihat adanya kesenjangan penegakan hukum.
Untuk memahami problematika ini, kita perlu membedah dua aspek krusial, yaitu teori ketidakpatuhan (non-compliance theory) dan posisi Bawaslu sebagai badan quasi-judicial.
Ilusi Kepatuhan
Teori ketidakpatuhan memberikan diagnosis yang jujur, pelanggaran hukum terjadi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena ketiadaan efek jera.






















































