jpnn.com - Ada masa ketika partai politik menjual diri sebagai simbol perubahan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pernah tampil sebagai partai anak muda: berani, bersih, dan melawan korupsi.
Poster mereka rapi, jargon mereka idealis, wajah-wajahnya segar. Banyak orang percaya partai ini akan menjadi harapan baru di tengah kebusukan politik lama.
Namun, waktu membuktikan bahwa idealisme tanpa fondasi hanya bertahan sampai pintu kekuasaan terbuka.
Hari ini, PSI tidak lagi bicara tentang politik baru. Mereka menjalankan pola lama dengan kemasan baru — politik yang berbasis transaksi, bukan gagasan.
Masuknya tokoh-tokoh dari partai lain menunjukkan arah perubahan itu.
PSI kini mengandalkan strategi naturalisasi politik: merekrut pemain dari klub lain untuk memperkuat tim yang kehilangan talenta sendiri. Alih-alih membangun kader, mereka membeli pengaruh.
Alih-alih melahirkan pemimpin, mereka menampung pemain cadangan yang tersisih di partai lama.
Di antara wajah-wajah baru itu, ada tipe politisi yang tak pernah menetap. Dulu mendukung satu pihak dengan semangat berlebihan, lalu menghujatnya tanpa malu ketika arah angin berubah.