jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat di penghujung November lalu telah meninggalkan duka mendalam karena jumlah korban meninggal dunia mencapai 780 orang dan 564 lainnya masih hilang.
Meskipun cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi menjadi pemicu, pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Agus Maryono menyebut bahwa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh bencana ini disebabkan oleh kombinasi multifaktor, bukan hanya faktor meteorologi semata.
Menurut Agus, dampak luar biasa dari banjir bandang ini mengindikasikan adanya faktor lain di luar cuaca ekstrem.
“Jika hanya karena faktor cuaca ekstrim, (dampak) banjirnya tidak sejauh itu ya, tetapi ini banjirnya kan sangat luar biasa,” ujar Agus pada Rabu (3/12).
Menurutnya, bencana ini dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor meteorologi berupa curah hujan yang ekstrem, faktor geografi dan geologi (bentang lahan yang rentan), faktor hidrolik (terjadi penyumbatan pada saluran hidrolik), dan kerusakan lingkungan, yaitu Dampak pembalakan hutan yang menyebabkan peningkatan kapasitas run off (limpasan air hujan) di permukaan tanah.
Agus menjelaskan bahwa kondisi hutan-hutan gundul di beberapa wilayah turut menjadi penyebab utama kenaikan run off yang signifikan sehingga memicu terjadinya banjir yang sangat besar, ditambah dengan adanya longsoran atau penyumbatan alami di sepanjang sungai menengah atau kecil.
Bencana di Sumatra ini telah menelan korban jiwa ratusan orang di tiga provinsi, yaitu:
- Aceh: 277 meninggal, 193 hilang.
- Sumatera Utara: 299 meninggal, 159 hilang.
- Sumatera Barat: 204 meninggal, 212 hilang.
- Total: 780 meninggal dunia, 564 hilang, dan 2.600 luka-luka.
Melihat skala dampak yang luas dan kompleksitas penanganan Anggota Komisi VIII DPR RI Hasan Basri Agus (HBA) mendesak pemerintah pusat untuk segera menetapkan bencana ini sebagai Bencana Nasional.






.jpeg)












































