Soal Pemisahan Pemilu, Ahli Hukum: Pembangkangan MK Terhadap Konstitusi

2 months ago 36

Ketua Umum Forum Doktor Abdul Chair Ramadhan. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan daerah merupakan sebuah pembangkangan terhadap konstitusi.

Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon. Dia menegaskan jika pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

"Demikian itu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. Suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Abdul Chair dalam keterangannya, Jakarta, Selasa, 8 Juli 2025.

Abdul Chair menekankan suatu norma Undang-Undang yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka, maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional. Dengan kata lain bersesuaian dengan UUD 1945.

"Penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sebagai berikut: Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang," kata dia.

Abdul Chair menyesalkan MK telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature. Di sisi lain, dalil pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusionalitaa norma, melainkan implementasi norma.

"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?" kata dia.

Dia justru mempertanyakan dalil pemohon, di mana dalam permohonannya disebutkan menyampaikan argumentasi empirik
berdasarkan dua kali penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni pada tahun 2019 dan tahun 2024, yang telah terbukti melemahkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, melemahkan pelembagaan partai politik (parpol), serta merugikan pemilih untuk mendapatkan suatu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah sebuah pembangkangan terhadap konstitusi.

Read Entire Article
| | | |