jabar.jpnn.com, SULAWESI UTARA - Malam itu, di Desa Tounelet, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, suasana terasa berbeda. Suara jangkrik yang biasa mengiringi kegelapan malam, kini bersaing dengan senyum merekah di wajah keriput Jolly Walangitan.
Di usianya yang ke-59, Jolly memandangi bohlam 10 watt di langit-langit ruang tamunya, sebuah pemandangan sederhana yang menyimpan makna kemerdekaan.
Bagi keluarga Walangitan, cahaya itu bukan sekadar penerangan, melainkan simbol kedaulatan energi yang bertahun-tahun mereka idamkan.
Sebelum cahaya itu hadir, kehidupan malam di rumah kayu sederhana milik Jolly adalah potret perjuangan.
“Sebelum kami memiliki lampu listrik, kami hanya memakai lilin, kemudian menyalur ke rumah saudara,” tutur Jolly lirih, mengenang masa-masa sulit tersebut.
Keterbatasan adalah kawan akrab mereka. Saat matahari terbenam, aktivitas harian terhenti paksa, digantikan oleh cahaya redup dari pelita atau lilin yang boros.
Belajar bagi anak-anak menjadi tantangan tersendiri, mata lelah karena cahaya yang redup, sementara sang ibu kesulitan memasak dengan kompor biasa alih-alih penanak nasi modern.
“Kalau anak-anak belajar malam, cahayanya redup sekali. Masak pun susah, belum punya rice cooker, hanya pakai kompor. Namun, sekarang kami bersyukur karena sudah memiliki listrik sendiri,” tambahnya.



















































