jateng.jpnn.com, SEMARANG - Tuntutan agar kepala daerah mundur, seperti desakan yang ditujukan kepada Bupati Pati Sudewo bukanlah peristiwa baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia.
Menurut Pengamat Hukum Tata Negara Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang Theo Adi Negoro, ada preseden nyata ketika warga Garut memaksa Bupati Aceng Fikri lengser pada 2013.
Proses itu melalui rangkaian mekanisme politik dan hukum yang melibatkan DPRD, Mahkamah Agung (MA) dan keputusan presiden.
Theo menjelaskan protes massa dan tekanan publik merupakan ekspresi demokrasi yang dilindungi konstitusi, tetapi tidak boleh menggantikan proses hukum formal.
"Unjuk rasa massa yang menuntut Bupati Pati mundur adalah bagian dari hak demokrasi yang dilindungi UUD 1945," kata Theo saat dikontak JPNN.com, Rabu (13/8).
Dia menyebut kasus Bupati Garut Aceng Fikri menjadi contoh tekanan publik bisa berujung pada pemberhentian.
Pada 2013 DPRD Kabupaten Garut menggelar paripurna dan menindaklanjuti aspirasi warga hingga berujung pada keputusan MA dan kemudian Keputusan Presiden RI yang mengesahkan pemberhentian.
"Langkah itu berjalan sesuai prinsip tata negara, kepala daerah dipilih rakyat, tetapi statusnya juga harus selaras dengan pemerintahan pusat sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Theo.



















































