jateng.jpnn.com, SEMARANG - Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke-X yang digelar akhir pekan ini dipandang sebagai momentum krusial bagi masa depan partai berlambang Kabah.
Hasil muktamar akan menjawab mengenai PPP mampu bangkit kembali atau justru menuju kepunahan.
Dosen Departemen Politik Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro Wahid Abdulrahman menilai posisi PPP saat ini berada di persimpangan jalan.
Dalam catatannya, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, belum ada partai yang mampu kembali ke parlemen setelah gagal lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
“Penurunan suara PPP dalam tiga pemilu terakhir semakin memperkuat kekhawatiran itu,” kata Wahid, Kamis (25/9).
PPP mencatat 8.152.957 suara atau 6,53 persen pada Pemilu 2014, kemudian merosot menjadi 6.323.147 atau 4,52 persen di Pemilu 2019 dan kembali turun menjadi 5.878.777 atau 3,87 persen pada Pemilu 2024.
Menurut Wahid, penurunan ini disebabkan oleh kegagalan internal dalam mengelola konflik, termasuk dualisme kepengurusan dan persaingan faksi menjelang Pemilu 2024.
Situasi tersebut diperburuk dengan melemahnya basis pemilih tradisional PPP, ditambah ketidakmampuan partai membaca arah politik nasional dan merespons perubahan demografi pemilih.



















































