jpnn.com, LEBAK - Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Usman Hamid menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi "Mencari Pahlawan Sejati" di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, Rabu (5/11).
Menurut Direktur Amnesty International Indonesia ini, seorang pahlawan nasional harus memegang nilai-nilai kebenaran dan keberanian moral hingga akhir hayatnya.
"Jadi, kalau dia meninggal dunia dalam keadaan melakukan kejahatan atau dengan status tersangka atau dengan status terdakwa entah itu kejahatan pelanggaran hak asas manusia, kejahatan lingkungan, atau korupsi, sulit untuk diletakkan sebagai pahlawan," papar Usman.
Ia mengkritik latar belakang Soeharto yang justru menjadi anggota tentara kolonial. "Ketika para pemuda Banten terlibat di dalam revolusi tahun 40-an, Soeharto di mana? Soeharto menjadi anggota tentara KNIL, tentara kolonial," ujarnya.
Usman membandingkan konsistensi nilai antara Soeharto dengan mantan Presiden Gus Dur. "Gus Dur berani, Gus Dur mencopot Jenderal Wiranto karena terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di Timor Timur. Jadi, Gus Dur memenuhi kategori itu, sampai terakhir dia meninggal dunia, dia masih membela orang-orang lemah," katanya.
Mengenai akhir kekuasaan Soeharto, Usman menyoroti statusnya yang belum selesai secara hukum. "Soeharto meninggal dunia ketika ia setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pahlawan sejati adalah orang-orang yang memiliki keberanian dan berani berkorban untuk orang lain. "Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur, Soeharto disandingkan dengan Marsinah," pungkas Usman Hamid. (tan/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:






















































