jabar.jpnn.com, BOGOR - Badai protes melanda ketika Kementerian Keuangan mengambil langkah memotong Transfer ke Daerah (TKD).
Gubernur-gubernur menyorong narasi “daerah dirugikan”, “pusat bersikap sewenang-wenang”, dan “pemangkasan menyerang pembangunan lokal”.
Namun, di balik gemuruh microsite dan konferensi pers, ada paradoks sunyi yang tak boleh dilupakan, yaitu beberapa yang paling lantang bersuara tersebut justru tak patuh pada kewajiban yang paling mendasar, yakni melaporkan kekayaan (LHKPN), itu kewajiban hukum dan simbol akuntabilitas publik.
Menyikapi hal ini, Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan, pemangkasan TKD tak muncul dari udara kosong. Ia berdiri di atas dua pijakan hukum.
Pertama, Inpres No. 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara, berisi instruksi strategis agar belanja pusat dan daerah dievaluasi, diprioritaskan, dan dialihkan ke belanja produktif.
Kedua, KMK No. 29 tahun 2025 terkait kejelasan teknis pelaksanaan penyesuaian, yang mencantumkan angka pemangkasan total ~Rp 50,59 triliun untuk TKD pada 2025, serta rencana menurunkan alokasi TKD menjadi Rp 693 triliun di 2026 dari Rp 919,87 triliun sebelumnya.
"Jadi, klaim bahwa ini kebijakan yang menghukum daerah adalah cara menyederhanakan konflik keuangan menjadi drama politis," kata Iskandar, Selasa (14/10).
Bagi IAW, BPK tak pernah berhenti bersuara selama 20 tahun, karena daerah mengulang kesalahan yang sama.


















































