jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Revisi Peraturan DPR tentang Tatib) pada Senin (4/2) lalu telah memicu kontroversi karena berpotensi memberikan kewenangan kepada anggota dewan untuk mengevaluasi dan bahkan mencopot sejumlah pimpinan lembaga independen.
Pada Pasal 228A dalam revisi Tatib memberikan DPR kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna. Hasil evaluasi ini bersifat mengikat dan akan ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR.
Pusat Studi Hukum Konstitusi FH Universitas Islam Indonesia menilai menilai hasil evaluasi yang bersifat mengikat dapat berujung pada pencopotan pejabat negara, jika hasil evaluasi merekomendasikan hal tersebut.
Beberapa pimpinan lembaga yang berpotensi dipecat oleh DPR, antara lain Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Peneliti PSHK UII Yuniar Riza Hakiki mengatakan tambahan kewenangan DPR tersebut telah mengeliminasi prinsip pembatasan kekuasaan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan mandat reformasi.
“Kewenangan tambahan tersebut jelas merupakan kegagalan DPR dalam memahami sistem ketatanegaraan di Indonesia,” kata Yuniar, Kamis (6/2).
Menurut dia, fungsi pengawasan DPR seharusnya cukup dilakukan dengan mekanisme check and balances yang selama ini dilakukan melalui rapat dengar pendapat dan sejenisnya.
Perluasan terhadap kekuasaan DPR dalam mencampuri lembaga lain yang konstitusional hanya terbatas pada apa yang diatur di dalam konstitusi dan Undang-Undang yang mengatur tentang DPR.