jpnn.com - Direktur Eksekutif Center for Strategic Studies on National Resilience (Cenares) Indonesia, Raden Umar mengatakan polemik seputar pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto harus ditanggapi dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif.
Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh masa lalunya tanpa harus menafikan luka sejarah.
“Penghormatan kepada pemimpin masa lalu adalah cermin kebesaran bangsa. Kita bisa tetap kritis terhadap sejarah, tetapi tidak boleh kehilangan rasa hormat kepada mereka yang pernah berbuat untuk negeri ini,” kata Umar dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (9/11).
Umar menilai pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dengan alasan luka sejarah menunjukkan bahwa sebagian elite bangsa masih belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.
"Kalau bangsa ini terus melihat masa lalu dengan kacamata dendam, maka yang muncul bukan pembelajaran sejarah, melainkan luka yang terus diwariskan," lanjutya.
Menurut Umar, sikap seorang pemimpin seharusnya mencerminkan kemampuan untuk memutus rantai dendam sejarah, bukan memperpanjangnya.
Dia mengingatkan bahwa pengakuan terhadap jasa seorang tokoh tidak berarti menghapus kritik terhadap kebijakannya.
"Pemimpin sejati mampu memisahkan antara objektivitas sejarah dan subjektivitas politik. Mengakui jasa Soeharto dalam pembangunan, ketahanan pangan, dan stabilitas nasional tidak berarti menutup mata terhadap sisi gelap masa pemerintahannya," tutur Umar.






















































