jpnn.com, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali diuji materiel di Mahkamah Konstitusi. Advokat Syamsul Jahidin mengajukan gugatan terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf c UU tersebut karena dinilai multitafsir dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam sidang perdana yang digelar Kamis (22/5), Syamsul menjelaskan bahwa frasa "mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l bersifat ambigu.
"Pasal ini dapat menimbulkan chilling effect atau ketakutan masyarakat atas kondisi ambigu dalam perundangan," ujar Syamsul di hadapan majelis hakim konstitusi yang diketuai Arief Hidayat.
Pasal 16 ayat (2) huruf c yang memuat frasa "harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya" juga digugat karena dinilai terlalu subjektif. Syamsul menegaskan pasal ini memberikan ruang penilaian subjektif tanpa kontrol objektif berpotensi memberikan praktik otoritarianisme.
Gugatan ini didukung data kasus kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian. Pada 2019 tercatat 68 kasus kekerasan dalam penanganan demo, 3.539 korban penangkapan sewenang-wenang, dan 474 korban penyiksaan.
Dalam perkara terpisah (No. 78/PUU-XXIII/2025), Syamsul bersama Ernawati, mantan anggota Bhayangkari asal Jeneponto, juga menguji Pasal 11 ayat (2) tentang mekanisme pengangkatan Kapolri.
"Sampai sekarang belum dapat keadilan. Belum terbuka kematian saudara saya," kata Ernawati yang viral dengan tagar #percumalaporpolisi di TikTok.
Majelis hakim meminta pemohon melakukan perbaikan berkas perkara. Hakim Enny Nurbaningsih menyatakan pemohon diberikan waktu hingga sidang 4 Juni 2025 untuk menyempurnakan permohonannya. Sementara Anwar Usman berpendapat sebagian materi seharusnya diajukan ke PTUN. (tan/jpnn)