jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiars menjelaskan kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19 persen antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah menyelamatkan industri padat karya nasional, khususnya sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Menurut Susiwijono, hasil negosiasi tarif 19 persen telah mencegah lonjakan beban tarif impor yang sebelumnya sempat diterapkan Presiden AS Donald Trump sebesar 32 persen.
“Tarif itu ada tarif MFN (Most Favoured Nation), tarif normal, tarif resiprokal, dan tarif sektoral. Yang kita omongin berbulan-bulan hanya tarif resiprokal, itu tambahan ke MFN. Bayangkan kalau produk pakaian jadi kita, katakanlah biaya masuknya (impor) 20 persen, ketambahan 32 persen, di atas 50 persen. Itu mematikan ekspor kita," ujar Susiwijono dikutip Rabu (30/7).
Sebagaimana diketahui, tarif resiprokal sebesar 19 persen nantinya akan dijumlahkan dengan tarif MFN. Tarif MFN merupakan bea masuk standar yang dikenakan suatu negara terhadap barang impor dari negara lain yang menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kesepakatan tarif 19 persen ini dianggap sebagai hasil yang menyelamatkan sekitar 3 juta pekerja di industri TPT dari ancaman kehilangan pekerjaan. Industri ini merupakan bagian dari keseluruhan sektor padat karya yang menopang sekitar 12 juta tenaga kerja di Indonesia.
Menurut Susiwijono, sapaan akrabnya, penetapan tarif itu juga datang pada saat yang sangat tepat, mengingat karakter industri fesyen yang bersifat musiman.
Tanpa kepastian tarif pada pertengahan Juli lalu, banyak produsen tekstil nasional akan kehilangan kesempatan untuk mengamankan pesanan untuk musim semi (spring season).
"Bayangkan kalau Bapak Presiden (Prabowo) belum sepakat dengan Trump, enggak ada kepastian Indonesia kena tarif berapa, bisa jadi order para perusahaan ekspor di Indonesia lari ke beberapa negara yang sudah jelas tarifnya. Contohnya di mana? Vietnam, walaupun dia (tarifnya) 20 persen," ujar Susiwijono.