jatim.jpnn.com, SURABAYA - Setiap 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional, sebuah momen penting untuk mengingat bahwa anak-anak bukan sekedar generasi penerus bangsa, tetapi jiwa-jiwa muda yang sedang mencari arah, tempat berpijak, dan makna keberadaan mereka.
Sebagai Guru Bimbingan Konseling (BK) di SMP 17 Agustus 1945 (SMPTAG) Surabaya, saya menyaksikan langsung dinamika kehidupan remaja di era serba digital. Gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka, baik sebagai sarana belajar maupun hiburan. Namun, di balik kemudahan itu, muncul tantangan baru yang tak bisa diabaikan. Menurunnya minat literasi, ketergantungan pada teknologi, dan kurangnya perhatian emosional dari lingkungan sekitar.
Anak-anak saat ini lebih cepat mengakses informasi, tetapi sering kali kurang peka terhadap komunikasi yang bersifat mendalam. Misalnya, ketika ada pengumuman penting secara tertulis, tidak semua membacanya secara saksama. Sebaliknya, mereka lebih responsif terhadap komunikasi langsung. Ini menunjukkan kebiasaan membaca dan fokus pada pesan tertulis mulai tergeser oleh interaksi instan dan visual.
Tantangan Terbesar: Membangun Trust Anak pada Lingkungan Sekitar
Tugas guru BK bukan hanya memberi solusi ketika masalah muncul, tetapi membangun kepercayaan. Anak tidak akan terbuka jika tidak merasa aman. Tantangan terbesar hari ini adalah menumbuhkan rasa percaya anak kepada gurunya. Ketika trust itu tumbuh, barulah arahan bisa masuk, dan nilai-nilai bisa ditanamkan.
Namun, guru tidak bisa berjalan sendiri. Pendidikan karakter anak bukan hanya tanggung jawab sekolah. Ada tiga pilar utama yang harus berjalan bersama, lingkungan, keluarga, dan guru. Anak bisa menjadi hebat jika ketiga unsur ini bekerja sinergis. Potensi anak itu ibarat kertas putih. Dia bisa menjadi lukisan indah atau buram tergantung siapa yang menggenggam kuasnya.
Anak Hebat Ada di Sekitar Kita Jika Kita Mau Melihatnya
Menurut saya, semua anak itu hebat. Hebat bukan hanya dalam akademik, tetapi dalam hal sikap, semangat, dan karakter. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah melihat potensi itu dan membantunya berkembang, bukan menuntut hasil sempurna sejak awal.
Di SMPTAG Surabaya, saya selalu menanamkan nilai persaudaraan kepada siswa-siswi. Kelas bukan hanya tempat belajar, tetapi rumah kedua. Semua adalah saudara. Ketika ada teman sakit, kita bantu.
Ketika ada kesalahan, kita ajarkan untuk berani meminta maaf. Nilai-nilai ini yang akan menjadi pondasi menghadapi Indonesia Emas 2045, bukan hanya anak cerdas, tetapi anak yang berempati, tangguh, dan mau berbagi.