jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Aktivitas tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat telah menyedot perhatian publik karena mengancam kelestarian lingkungan di kawasan yang dikenal sebagai “surga terakhir” dengan keanekaragaman hayati laut dan daratan yang sangat tinggi.
Protes keras datang dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan, masyarakat adat, dan warganet, yang khawatir kerusakan lingkungan akan berdampak pada ekosistem dan pariwisata Raja Ampat.
Pemerintah pusat mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat pada Juni 2025 setelah ditemukan pelanggaran lingkungan dan aktivitas tambang di kawasan geopark yang dilindungi.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo mengusulkan agar pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) pengawasan tambang demi memperkuat kontrol terhadap aktivitas pertambangan, khususnya di kawasan yang rawan secara ekologis.
"Pengawasan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi memerlukan sistem yang terkoordinasi dan terdesentralisasi," ujar Hatma.
Hatma menekankan bahwa satgas harus melibatkan kementerian teknis, pemerintah daerah, penegak hukum, unsur independen, serta masyarakat lokal.
Satgas juga perlu dibekali teknologi pemantauan mutakhir dan personel terlatih seperti polisi hutan dan inspektur tambang agar pengawasan berjalan efektif dan berbasis indikator kerusakan lingkungan.
Ia juga meminta Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih proaktif turun ke lapangan dengan dukungan data spasial yang akurat.