jpnn.com, JAKARTA - PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re menyelenggarakan forum Insurance Industry Dialogue dengan tema “Enhancing The Resilience of Insurance Industry: Synergizing Capital Management and GRC”, bertempat di St. Regis Jakarta.
Forum ini dihadiri regulator, pelaku industri, akademisi, praktisi hukum, hingga lembaga pengawas negara, sebagai wadah diskusi strategis untuk memperkuat struktur permodalan dan tata kelola industri perasuransian nasional.
Direktur Utama Indonesia Re Benny Waworuntu menegaskan bahwa industri perasuransian merupakan sektor jasa keuangan yang sangat padat modal (highly capital intensive), sehingga membutuhkan kerangka permodalan yang kuat sekaligus tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (Governance, Risk, and Compliance/GRC) yang kukuh.
“Industri perasuransian tengah menghadapi tekanan yang cukup kuat. Risiko semakin meningkat, mulai dari dampak perubahan iklim (climate change), ancaman risiko siber, hingga dinamika geopolitik. Setiap premi yang kami dapatkan, harus dibersamai dengan penguatan permodalan. Selain itu, volatilitas pasar juga menjadi faktor yang menambah tekanan pada industri reasuransi,” ujar dia.
Di sisi lain, teknologi dan digitalisasi mendorong pengembangan model bisnis baru. Hadirnya standar internasional seperti IFRS 17 juga menjadi tantangan signifikan bagi industri reasuransi.
“Ketahanan industri tidak hanya ditentukan oleh kecukupan modal, tetapi juga integritas dan tata kelola yang baik. Sinergi antara capital management dan GRC akan menjadi fondasi untuk membangun industri perasuransian yang tangguh, dipercaya publik, dan berdaya saing global,” tegas Benny.
Hadir menyampaikan pidato utama, Reza Yamora Siregar, Managing Director/Chief Economist BPI Danantara menekankan peran fundamental asuransi dalam menjaga ketahanan ekonomi.
“Peran utama asuransi adalah mitigasi risiko dalam sistem ekonomi negara kita. Pertanyaannya, bagaimana kita memaksimalkan kapasitas di dalam negeri untuk menghadapi risiko-risiko tersebut? Situasi global yang dinamis, mulai dari krisis keuangan tahun 2008, pandemi COVID-19 pada 2019–2023, hingga peningkatan utang negara mengajarkan bahwa ketahanan ekonomi tidak bisa hanya bertumpu pada instrumen fiskal dan moneter, tetapi juga pada instrumen manajemen risiko yang kokoh,” kata Reza.


















































