jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Budi Sulistyono menyoroti kondisi ketenagakerjaan di PT Pos Indonesia yang dinilainya memprihatinkan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI bersama jajaran direksi PT Pos Indonesia, Budi Sulistyono, yang akrab disapa Kanang, menyampaikan keprihatinannya terhadap minimnya hak-hak yang diterima karyawan perusahaan pelat merah tersebut.
“Kita mendengar suara pekerja yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja PT Pos Indonesia. Kondisinya sangat menyedihkan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) mereka masih rendah, sementara jaminan seperti BPJS Kesehatan, asuransi kecelakaan, tunjangan hari raya (THR), cuti, dan dana pensiun masih jauh dari kata layak,” ujar Kanang dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/2).
Selain upah dan jaminan sosial, anggota Fraksi PDIP itu juga menyoroti beban kerja karyawan yang dinilai melebihi standar ketenagakerjaan.
“Jam kerja mereka mencapai 200 jam per bulan, jelas melampaui ketentuan dalam undang-undang. Artinya, sistem ketenagakerjaan di PT Pos Indonesia perlu perbaikan mendesak,” tegas legislator dari PDI Perjuangan itu.
Kanang juga menyinggung laporan keuangan PT Pos Indonesia, yang menunjukkan profitabilitas dan dividen yang cukup baik. Namun, ia mengingatkan bahwa jika permasalahan tenaga kerja tidak segera diselesaikan, hal itu bisa memicu gejolak yang berdampak buruk bagi perusahaan.
“Kalau hanya melihat keuntungan dan dividen, memang terlihat lumayan. Tapi jika permasalahan tenaga kerja ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi pemogokan nasional, yang bisa berujung pada hilangnya kepercayaan publik,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, Kanang mendesak direksi PT Pos Indonesia untuk segera berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan guna memastikan kebijakan perusahaan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Saya harap Pak Dirut segera meminta fatwa dari Kementerian Ketenagakerjaan, apakah kebijakan ketenagakerjaan di PT Pos Indonesia sudah sesuai aturan atau justru melanggar. Walaupun ada risiko penurunan dividen, stabilitas internal jauh lebih penting untuk menjaga kepercayaan publik,” katanya.