jpnn.com - Di balik makanan yang tersaji di meja makan kita setiap hari, tersimpan kisah panjang tentang tanah, air, dan tangan-tangan yang menanam, merawat, hingga mengolahnya. Peringatan Hari Pangan Sedunia menjadi saat yang tepat untuk menengok kembali hubungan manusia dengan pangan yang begitu mendasar.
Sejak dahulu, sejarah manusia selalu ditulis bersama kisah pangan. Dari sungai-sungai besar yang melahirkan peradaban hingga hutan yang menopang sumber kehidupan, pangan bukan sekadar urusan kenyang, melainkan fondasi kualitas manusia, kekuatan ekonomi, dan identitas bangsa. Cara kita mengelola pangan hari ini akan menentukan arah pembangunan Indonesia di masa depan.
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas sumber pangan yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki sumber pangan lokal yang lahir dari interaksi panjang antara manusia dan alam, menjadi bagian dari kebudayaan yang diwariskan lintas generasi.
Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), Indonesia memiliki sekitar 945 jenis pangan lokal, yang terdiri atas 77 sumber karbohidrat, 75 sumber protein, 389 jenis buah, 228 sayuran, 26 kacang-kacangan, 110 rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman.
Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki “lumbung pangannya” sendiri. Di Nusa Tenggara ada sorgum dan jewawut, di Maluku ada sagu, di Kalimantan dan Papua ada beragam umbi-umbian, sementara di Jawa dan Sumatera, aneka padi lokal dan hasil kebun tumbuh subur.
Keragaman ini tidak hanya soal jumlah jenisnya, tetapi juga nilai gizi dan ketahanan. Ubi jalar atau sagu, misalnya, memiliki kalori hampir setara dengan nasi (160-180 kalori), namun keduanya menawarkan serat, vitamin, dan indeks glikemik yang lebih baik bagi tubuh.
Kekayaan ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan Indonesia sesungguhnya telah tertanam di tanah dan tradisi kita sendiri. Yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk menghidupkan kembali pengetahuan lokal itu agar sejalan dengan sistem pangan modern.
Kendati demikian, keragaman itu perlahan terpinggirkan. Pola konsumsi masyarakat makin seragam, dan memunculkan superioritas beras serta komoditas impor seperti gandum. Bapanas mencatat bahwa 97 persen penduduk Indonesia kini bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.


















































