jpnn.com, JAKARTA - Meningkatkan kepercayaan investor, butuh reformasi legislasi terkait arbitrase. Tren yang berkembang saat ini, pelaku usaha makin banyak menggunakan praktik-praktik arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa alternatif yang paling disukai, khususnya dalam kerangka yang dikenal sebagai ”Transnasional System of Commercial Justice”.
Faktanya di lapangan, penegakan putusan arbitrase domestik maupun asing di Indonesia seringkali terganjal pada kompleksitas dan proses arbitrase yang berasal dari yuridiksi dengan sistem hukum dan praktik komersial yang berbeda.
Hal tersebut terungkap dalam dalam BANI Seminar Internasional bertema ”Dinamika Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia” (The Dynamic of Enforcement of Arbitration Awards in Indonesia), kemarin (24/7).
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Sarana/Prasarana KADIN Indonesia, M Azis Syamsuddin mengatakan, meskipun terdapat perkembangan positif, tantangan tetap ada. Interpretasi pengadilan negeri yang tidak konsisten, terutama di daerah.
Kedua, ambiguitas hukum dalam sengketa yang melibatkan badan usaha milik negara dan kontrak pemerintah.
"Tantangan lainnya adalah adopsi praktik modern yang lambat, seperti sidang virtual atau prosedur yang dipercepat. Termasuk juga, regulasi hukum yang belum sama rata di seluruh pengadilan, juga menjadi catatan penting," terang Azis Syamsuddin dalam paparannya dikutip Jumat (25/7).
Oleh karena itu, sebagai pengurus KADIN, pihaknya menyampaikan sejumlah rekomendasi untuk mereformasi ekosistem arbitrase di Indonesia.
Pertama, merevisi UU No.30/1999 agar mencakup putusan sela, arbiter darurat, dan proses digital, sejalan dengan UU Model UNCITRAL. Kedua, melatih hakim dan praktisi hukum untuk menyelaraskan yurisprudensi terkait arbitrase.