jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Rifka Annisa Women’s Crisis Center, salah satu organisasi perempuan di Yogyakarta, mengungkapkan modus baru kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Lembaga yang berdiri sejak 1993 itu telah banyak merekam berbaga bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun, perkembangan teknologi digital dengan masifnya internet telah menambah kompleks kasus-kasus kekerasan berbasis gender.
Pejabat sementara Direktur Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, mengatakan bahwa fenomena KSBE mulai mengemuka pada masa pandemi Covid-19.
Saat pendemi, kata Amalia, hampir seluruh aktivitas masyarakat berpindah ke ruang digital.
"Fenomena ini tetap berlanjut pascapandemi. Sejak 2020 sampai Juni 2025 Rifka Annisa telah menangani 65 kasus KSBE," katanya.
Menurut Amalia, penanganan kasus KSBE masih menghadapi berbagai tantangan. Masih banyak korban yang menghapus bukti pesan dari pelaku karena merasa terganggu, marah, atau takut.
Penghilangan barang bukti menyulitkan proses pembuktian dan kerangka hukum di Indonesia dianggap belum sepenuhnya mengakomodasi kompleksitas bentuk kekerasan baru tersebut.
Contoh kasus yang sering terjadi adalah permintaan foto atau video pribadi yang kemudian digunakan untuk memeras korban, bahkan berujung pada kekerasan seksual langsung.