jpnn.com, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah patut menjadi bahan evaluasi besar.
Bukan hanya karena dampaknya pada efektivitas dan sinkronisasi pemerintahan, tetapi karena itu menyingkap satu persoalan mendasar: sistem politik kita terlalu padat prosedur, tetapi minim jaminan kualitas.
Di tengah tantangan global, ketidakpastian geopolitik, serta tekanan ekonomi pascapandemi, Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada demokrasi prosedural yang mahal dan belum tentu menghasilkan pemimpin terbaik. Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, kita butuh kepemimpinan yang kredibel, meritokratik, dan sanggup merancang pembangunan jangka panjang secara konsisten. Ini hanya bisa dicapai jika sistem politik kita benar-benar relevan dengan kebutuhan masa depan.
Sebagai organisasi pengusaha muda, HIPMI berpandangan bahwa sistem pemilu kita perlu disederhanakan dan direformulasi agar lebih fokus pada kualitas, bukan sekadar kuantitas atau keterbukaan yang semu. Salah satu usulan penting adalah menerapkan skema seleksi publik awal untuk semua kandidat pemimpin eksekutif dan legislatif, baik nasional maupun daerah. Proses ini melibatkan tokoh masyarakat, akademisi, lembaga profesional, dan media independen, untuk menguji rekam jejak, integritas, dan kapasitas calon.
Setelah lolos dalam seleksi publik ini, barulah partai politik dapat mengambil peran untuk mengusung dan mengonsolidasikan dukungan. Untuk pemilihan kepala daerah, kami mendorong wacana pemilihan tidak langsung oleh DPRD—bukan sebagai langkah mundur demokrasi, melainkan sebagai penyederhanaan sistem dan penguatan efisiensi. Yang penting, legitimasi dan kualitas telah dijamin melalui seleksi publik yang terbuka dan kredibel.
Model ini akan menghemat anggaran politik yang besar, mengurangi praktik politik uang di level lokal, serta mempercepat proses konsolidasi pemerintahan. Demokrasi bukan soal seberapa sering rakyat datang ke TPS, tapi seberapa besar suara rakyat terwujud dalam kebijakan dan kualitas kepemimpinan.
Negara-negara yang sukses menyeimbangkan demokrasi dan pembangunan seperti Jerman, Korea Selatan, dan Finlandia memiliki sistem rekrutmen kepemimpinan yang rasional dan berbasis kualitas. Mereka tidak hanya memoles sistem pemilu secara kosmetik, tapi membangun ekosistem politik yang menumbuhkan pemimpin visioner, bukan selebriti elektoral.
Indonesia harus berani keluar dari jebakan prosedural dan populisme jangka pendek. Kita butuh stabilitas politik untuk pembangunan jangka panjang. Dan stabilitas itu hanya mungkin lahir jika setiap pemimpin yang duduk adalah hasil dari sistem seleksi yang masuk akal dan menjawab kebutuhan zaman.