jpnn.com, JAKARTA - Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho mengkritik keras praktik rangkap jabatan sebanyak 30 Wakil Menteri yang saat ini menuai polemik di tengah masyarakat.
Bagi Hardjuno, praktik itu tidak hanya problematik secara hukum, tetapi juga menunjukkan krisis etika di tingkat elite pemerintahan.
“Kalau di negara demokrasi maju, rangkap jabatan dibatasi ketat karena dianggap berpotensi menumpuk kekuasaan dan menciptakan konflik kepentingan. Di Indonesia justru dibuka lebar. Ini bukan kemajuan, ini kemunduran,” ujar Hardjuno dalam pernyataan tertulisnya, Senin (14/7).
Hardjuno menyebut gugatan uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan rangkap jabatan ini merupakan sinyal penting bahwa publik tidak tinggal diam.
Menurutnya, fakta bahwa kebijakan ini digugat saja sudah cukup membuktikan bahwa ada masalah moral yang serius dalam cara pemerintahan dikelola.
“Kalau sebuah kebijakan harus diuji di Mahkamah Konstitusi, itu tandanya kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang secara moral memang patut dipersoalkan. Apalagi ini soal jabatan publik yang menyangkut kepercayaan rakyat,” tegasnya.
Menurut Hardjuno, menteri dan wakil menteri adalah satu paket kekuasaan eksekutif. Maka jika seorang menteri dilarang merangkap sebagai komisaris BUMN, larangan itu secara prinsip juga harus berlaku bagi wakil menterinya.
“Wakil menteri itu bukan jabatan yang independen. Ia bukan pejabat politik otonom yang punya garis komando sendiri. Dia perpanjangan tangan menteri. Kalau menterinya tidak boleh rangkap jabatan, wakilnya juga seharusnya tunduk pada prinsip yang sama,” jelasnya.