jpnn.com, JAKARTA - Tim penasihat hukum Hasto Kristiyanto mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap putusan praperadilan yang dibacakan oleh Hakim tunggal Djuyamto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (13/2). Mereka menilai putusan tersebut dangkal dan menyebutnya sebagai bentuk pembodohan hukum.
"Kami kecewa dengan putusan praperadilan yang dibacakan. Kami mengharapkan putusan dengan pertimbangan hukum yang kuat dan legal reasoning yang meyakinkan. Namun, kami tidak menemukan hal tersebut dalam putusan ini," kata Todung Mulya Lubis, salah satu anggota tim penasihat hukum Hasto, seusai persidangan.
Todung menilai putusan praperadilan ini sebagai kesalahan hukum atau miscarriage of justice. Ia menyebutkan bahwa pihaknya datang ke PN Jakarta Selatan untuk menguji dugaan abuse of power dan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penetapan status tersangka terhadap kliennya.
"Kami melihat dengan jelas adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPK. Namun, putusan ini justru tidak memberikan kejelasan hukum. Ini bukan pendidikan hukum, tetapi pembodohan hukum," tegas Todung.
Sementara itu, anggota tim penasihat hukum Hasto lainnya, Maqdir Ismail, mempertanyakan dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam menolak pengujian status tersangka di dua tindak pidana berbeda dalam satu permohonan praperadilan.
"Pertanyaan pokoknya adalah apakah dalam proses praperadilan ada larangan hukum yang melarang orang menguji dua penetapan tersangka dalam satu permohonan? Dalam praktik pidana dikenal teori penggabungan perkara," jelas Maqdir.
Menurut Maqdir, jika permohonan praperadilan memang ingin ditolak, seharusnya alasan yang digunakan adalah kurangnya alat bukti, bukan dengan dasar pertimbangan hukum yang dinilai dangkal.
Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dua kasus dugaan korupsi, yaitu kasus dugaan suap terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan (obstruction of justice).