jpnn.com, JAKARTA - Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) diharapkan sebagai motor penggerak ulama perempuan Indonesia untuk bisa berperan dalam berbagai bidang. Hal ini sekaligus untuk menegaskan keberadaan ulama perempuan dan meminimalisasi resistensinya.
"KUPI tidak hanya menjadi forum pertemuan, tetapi juga sebagai platform dinamis yang memperjuangkan keadilan substantif melalui fikih ramah perempuan," kata Pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Hindun Anisah, MA, Rabu (20/8).
Dia mengharapkan, KUPI menjadi satu gerakan strategis dan transformatif yang memiliki peran penting dalam menjawab tantangan kontempore.
Selain itu juga menjadi landasan gerakan yang memadukan gerakan intelektual dan keilmuan, gerakan sosial keagamaan dan gerakan advokasi serta kebijakan.
"Jadi, bukan gerakan sesaat, tetapi berkelanjutan dengan program-program yang semakin bergema ke se antero Indonesia," ujar Neng Hindun, sapaan akrabnya, yang baru saja menyelesaikan program doktoral dengan disertasi “Gerakan Ulama Perempuan Indonesia, Studi atas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai Gerakan Baru Perempuan Indonesia” di Aula Univesitas Nahdatul Ulama (UNUSIA) Bogor, Senin (18/8).
Hindun yang lahir dari keluarga ulama NU terkemuka dalam disertasinya menyatakan bahwa eksistensi ulama perempuan memang belum merata kemunculannya di Indonesia, sering mendapatkan resistensi dari masyarakat terkait dengan posisinya saebagai pemegang otoritas keagamaan.
Padahal, sejak masa-masa awal Islam, eksistensi ulama perempuan sudah muncul di bebagai bidang.
“Hal-hal ini pada 2023 dibahas dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Berangkat dari kondisi ini lah saya terinspirasi untuk melihat lebih detil fenomena ini dan menjadikan sebagai tema utama disertasi saya,” ucapnya.