jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA - Sehari setelah peringatan Hari Pahlawan, puluhan aktivis, akademisi, dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berkumpul dalam acara Rapat Oemoem Meluruskan Sejarah Indonesia pada Selasa pagi (11/11) di Langgeng Art, Yogyakarta.
Acara itu secara eksplisit fokus menolak penetapan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, yang dianggap sebagai puncak dari kembalinya ideologi militerisme dan pengaburan sejarah kekejaman Orde Baru.
Ketua panitia acara, Marsinah (bukan nama sebenarnya), menjelaskan bahwa rapat umum ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan berulang menjelang Hari Pahlawan dan makin diperkuat dengan munculnya nama Soeharto sebagai salah satu calon pahlawan nasional tahun ini.
"Ini adalah persoalan untuk membangun narasi-narasi pengaburan sejarah kekejaman yang dilakukan oleh Orde Baru," tegas Marsinah.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, yang diumumkan tepat pada 10 November, dianggap sebagai upaya memperkuat militerisme di ruang sipil.
Marsinah memaparkan sejumlah dosa besar Soeharto yang dilupakan oleh rezim hari ini.
Misalnya, kata dia, ada lebih dari 30.000 orang tewas akibat daerah operasi militer (DOM) di Papua dan Aceh, ada 152 perempuan korban perkosaan pada Mei 1998 dan 20 korban di antaranya meninggal dunia, serta pembunuhan dan membungkam ratusan aktivis, termasuk Moses, mahasiswa yang tewas di Yogyakarta pada masa reformasi.
Gelar Pahlawan Sebagai Alat Kuasa Politik
Marsinah menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat ini tidak lebih dari alat untuk melakukan peneguhan kuasa politik dan melegitimasi militerisme.



















































