jpnn.com, JAKARTA - Pemilu 2024 meninggalkan catatan pahit bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tidak tercapainya ambang batas parlemen menjadi alarm serius yang tidak bisa diabaikan.
"Evaluasi harus dilakukan. Tetapi, evaluasi yang bijak menuntut keseimbangan antara kritik dan apresiasi, antara emosi dan akal sehat," ujar pemerhati hukum partai politik Rahmat Hidayat dalam keterangan persnya, Senin (28/7).
Di tengah riuhnya tuntutan pembaruan PPP, kata Rahmat, satu nama terus disebut, yakni Muhamad Mardiono sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum. Sebagian menilai Mardiono gagal, sebagian lain melihatnya sebagai tokoh yang justru paling berkontribusi dalam menjaga PPP tetap hidup.
"Maka pertanyaannya bukan sekadar siapa yang salah? Melainkan siapa yang tetap bertahan ketika yang lain memilih pergi?" ujarnya.
Rahmat mengatakan Mardiono menerima estafet kepemimpinan bukan dalam situasi normal. Mardiono hadir ketika partai menghadapi ketidakstabilan struktural dan kepercayaan publik yang mulai menurun. Tidak banyak yang bersedia mengambil risiko memimpin partai di saat badai.
Namun, dia menilai, Mardiono hadir bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah konkret.
Sebaliknya, dia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk membenahi organisasi, menyatukan fraksi-fraksi internal, dan mengorbankan dana pribadinya untuk memastikan saksi dan logistik partai tetap berjalan di lapangan.
"Ini adalah bentuk pengabdian yang jarang terlihat dalam politik praktis hari ini," ungkapnya.