jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Prof. Yenny Narny, menyoroti pertanyaan moral yang muncul saat Presiden Ke-2 RI Soeharto diberikan gelar pahlawan.
"Apakah seorang pemimpin yang kekuasaannya diwarnai pelanggaran hak asasi manusia masih pantas disebut pahlawan bangsa? Pertanyaan ini bukan sekadar soal penghargaan simbolik, melainkan ujian bagi ingatan kolektif dan keberanian kita menatap sejarah secara jujur," ujarnya saat dihubungi, Senin (10/11).
Menurutnya, kajian sejarah dan hukum menunjukkan tanggung jawab Soeharto atas berbagai pelanggaran HAM di masa Orde Baru bersifat substantif.
"Ia memenuhi unsur command responsibility: memiliki wewenang, pengetahuan, dan kemampuan untuk mencegah kejahatan aparat di bawahnya, namun gagal—bahkan enggan—melakukannya. Lebih dari itu, ia justru melahirkan kebijakan yang secara inheren melanggar kemanusiaan," tegas Prof Yenny.
Dia menyebut pembentukan Kopkamtib (1965–1978) melalui Keppres No. 371/1965 sebagai salah satu contoh.
"Lembaga super-eksekutif yang dipimpin langsung olehnya dengan kewenangan menangkap dan menahan tanpa proses hukum. Di periode 1965-1966 Kopkamtib adalah institusi resmi pemerintah yang mendata anggota dan simpatisan yang dari penelitian Melvin (2018) menyebutkan bahwa ini menjadi titik balik dari penangkapan menuju pembantaian," paparnya.
Setelah Komkamtib bubar, kekerasan negara dilembagakan melalui Bakorstanas (1988). "Bakorstanas mengawasi aktivitas politik, buruh, dan mahasiswa, melaju bersama dengan UU Subversi No. 11/PNPS/1963 untuk mengkriminalisasi oposisi atas nama stabilitas nasional," imbuhnya.
Kebijakan militeristik seperti penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1989–1998), Operasi Petrus (1983–1985), tragedi Tanjung Priok (1984), dan Talangsari (1989) disebutkannya sebagai bukti pola represif. Hingga penculikan aktivis pro-demokrasi (1997–1998) disebut menegaskan keberlanjutan logika kekuasaan represif di bawah kendalinya.






















































