Peringatan: artikel ini memuat konten kekerasan seksual yang mungkin membuat pembaca tidak nyaman
Masih jelas dalam ingatan Sandyawan Sumardi suasana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada Mei 1998, ketika ia mengantar relawan setelah kerusuhan di Jakarta pecah.
"Saya dan tim relawan berada di antara mayat-mayat yang banyak itu ... sampai sekarang kalau saya kenangkan [masa-masa] itu, tetap masih pusing saya, traumatik," kata Sandyawan, yang sebelum membuka jubah imamnya dikenal dengan panggilan Romo Sandy.
Saat itu, Sandyawan adalah koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan untuk mendampingi para korban Tragedi Mei 1998, termasuk korban pemerkosaan yang disertai penganiayaan.
Salah satu cerita yang sulit dilupakannya adalah saat ia mendampingi seorang mahasiswi beretnis Tionghoa dari Universitas Tarumanegara.
Saat menceritakannya kepada ABC Indonesia lewat Zoom, Sandyawan beberapa kali terhenti karena memanggil ingatannya. Ia juga esekali terdiam, menahan emosi, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Mahasiswi ini diperkosa di kostnya pada siang hari oleh dua orang," tutur Sandyawan.
"Karena dia melawan, pelaku mencabut besi gorden dan menusukkannya ke perut dan akhirnya, maaf sekali, ke vaginanya sehingga menimbulkan pendarahan yang luar biasa."