
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta telah menyiapkan strategi khusus guna mengantisipasi arus balik Lebaran 2025, dengan menggulirkan Program Penataan Administrasi Kependudukan.
Melalui program ini, Dukcapil DKI Jakarta akan menata dan memastikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) hanya diberikan kepada warga yang berdomisili di wilayah tertentu, sehingga dalam jangka waktu maksimal satu tahun, setiap penduduk diwajibkan menyesuaikan identitas kependudukan mereka dengan alamat domisili yang sebenarnya.
Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta, Budi Awaluddin, menegaskan bahwa program ini bertujuan untuk menertibkan arus migrasi di ibu kota sebagai langkah konkret dalam mengawal pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
“Program ini telah terbukti efektif dalam pelaksanaannya sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka perpindahan penduduk pada tahun 2024 sebesar 37,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya,” ujar Budi, Jumat (14/3).
Ia memaparkan bahwa setiap bulan Jakarta mencatat rata-rata kelahiran sebanyak 8.796 jiwa. Sementara itu, dalam periode pasca-Lebaran 2021-2024, jumlah pendatang yang masuk ke ibu kota mencapai rata-rata 22.412 jiwa dalam satu momentum tertentu.
“Data ini mencerminkan adanya lonjakan signifikan dalam jumlah penduduk Jakarta pada periode tertentu,” imbuhnya.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa Jakarta tetap menjadi kota yang ramah bagi penduduk maupun para pendatang, dengan prinsip keadilan serta memberikan daya tarik dan kebahagiaan bagi setiap individu.
“Namun, pertumbuhan populasi harus tetap terkendali agar Jakarta dapat berkembang sebagai kota global. Oleh sebab itu, tahun ini kami tidak akan melakukan operasi yustisi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Harapannya, kebijakan ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, memastikan keakuratan data kependudukan, serta memberikan kepastian hukum,” jelas Budi.
Sementara itu, pengamat perkotaan Yayat Supriatna menilai bahwa Jakarta perlu bertindak cepat dalam mengelola dinamika kependudukan agar tidak terjebak dalam persoalan yang terus berulang.
Menurutnya, Jakarta masih menjadi magnet bagi masyarakat dari berbagai daerah, sehingga diperlukan regulasi yang efektif, misalnya persyaratan minimal menetap selama sepuluh tahun dan memiliki KTP Jakarta sebelum dapat mengakses fasilitas bantuan sosial.
“Jakarta memiliki infrastruktur yang lengkap serta beragam fasilitas bantuan sosial bagi warganya. Oleh karena itu, regulasi yang tepat dan berdampak langsung sangat diperlukan untuk mengatur arus pendatang,” tegas Yayat.