Pernyataan Sikap MAARIF Institute Terkait Rencana Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia

2 weeks ago 33
 Mengukuhkan Dominasi Imperialis atas Palestina.

KabarJakarta.com — MAARIF Institute for Culture and Humanity menyampaikan apresiasi atas kepedulian kemanusiaan Pemerintah Indonesia. Namun, seiring dengan itu, kritik konstruktif turut disampaikan atas rencana Presiden Prabowo pada 9 April 2025 yang hendak mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke tanah air. Kami menyoroti sejumlah aspek fundamental yang menuntut perhatian mendalam. Meskipun Menteri Luar Negeri Sugiono (10 April 2025) menegaskan bahwa evakuasi ini bersifat sementara dalam rangka bantuan kemanusiaan, terdapat sejumlah catatan kritis yang tak dapat diabaikan:

1. Risiko Politisasi Bantuan Kemanusiaan dalam Bayang-bayang Kepentingan Global

Bantuan kemanusiaan sejatinya harus bebas dari kalkulasi politik jangka pendek. Dalam konteks ini, Indonesia patut mewaspadai tekanan ekonomi dan kebijakan tarif Amerika Serikat yang berpotensi menyeret negeri ini pada posisi sulit—yakni harus menanggung beban kemanusiaan sekaligus, secara tidak langsung, mendukung agenda kolonial Israel. Evakuasi besar-besaran dapat dimaknai sebagai pengakuan atas dominasi kekuatan imperialis yang justru merongrong komitmen Indonesia terhadap prinsip anti-penjajahan. Langkah semacam ini berisiko menjadi preseden yang membahayakan perjuangan kemerdekaan Palestina di mata dunia.

2. Inkonsistensi Arah Diplomasi dan Transparansi Kebijakan

Dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina merupakan bagian dari sejarah panjang politik luar negeri sejak era kemerdekaan. Karena itu, setiap kebijakan—termasuk evakuasi—harus sejalan dengan garis perjuangan tersebut. Mengambil langkah taktis tanpa kajian mendalam, apalagi jika disertai nuansa retorika, hanya akan memicu kegaduhan dan melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi global. Konsistensi adalah kunci. Pemerintah dituntut untuk tidak sekadar menunjukkan empati, tetapi juga memastikan bahwa langkah kemanusiaan tidak mengaburkan perjuangan untuk kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.

3. Bahaya Pengosongan Gaza dan Peluang Penjajahan Lebih Luas

Evakuasi, meski dimaksudkan sementara, mengandung risiko strategis yang nyata. Kosongnya wilayah Gaza dari penduduknya, walau sebagian, membuka ruang bagi perluasan kontrol militer Israel. Ini bisa dimaknai sebagai celah yang dimanfaatkan untuk memperkuat penjajahan secara sistematis. Dalam konteks ini, bantuan kemanusiaan tidak boleh menjadi pembuka jalan bagi penguatan dominasi penjajah atas wilayah yang sah milik rakyat Palestina. Maka, setiap langkah harus dirancang dengan orientasi pada penguatan posisi rakyat tertindas, bukan pelemahan.

4. Tanggung Jawab Pasca-Evakuasi yang Tak Bisa Diabaikan

Evakuasi bukanlah akhir dari sebuah proses, melainkan awal dari tanggung jawab besar dan berlapis. Negara harus menyiapkan infrastruktur sosial dan kebijakan yang menyeluruh untuk menjamin keselamatan, kesehatan, pendidikan, serta integrasi sosial para pengungsi. Perlindungan hak-hak dasar mereka, termasuk kemungkinan untuk pulang jika situasi memungkinkan, perlu dijamin secara hukum dan operasional. Pemerintah harus pula mengantisipasi skenario jika repatriasi gagal terlaksana. Tanpa rencana jangka panjang, evakuasi ini berpotensi memicu persoalan sosial baru di dalam negeri.

Hingga pernyataan ini dirilis, belum tersedia informasi yang transparan mengenai asesmen kebutuhan, kesiapan institusi, dan dampak kebijakan. Ketiadaan kajian menyeluruh menunjukkan bahwa pemerintah belum siap secara struktural maupun strategis menghadapi dampak lanjutan dari keputusan ini.

5. Perspektif Islam Progresif-Moderat atas Aksi Kemanusiaan

Dalam kerangka Islam Progresif-Moderat, bantuan kemanusiaan harus berpijak pada nilai syariat yang menolak segala bentuk penjajahan dan berpihak pada kaum tertindas (mustadh’afin), sebagaimana terkandung dalam QS. An-Nisa ayat 75. Tanpa strategi pembebasan yang sistematis, bantuan bisa menjadi kabur arahnya dan justru melemahkan klaim rakyat Palestina atas tanah air mereka. Evakuasi yang tidak disertai rencana repatriasi dan kebijakan jangka panjang dapat bertentangan dengan prinsip keadilan (‘adalah) dan perjuangan (ijtihad) dalam Islam.

QS. Al-Maidah ayat 2 mengingatkan agar manusia tidak saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka, setiap langkah kemanusiaan harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap keberpihakan pada pihak yang tertindas atau justru menguatkan penindas. Prinsip ini harus menjadi fondasi bagi kebijakan luar negeri dan aksi solidaritas internasional Indonesia.

Kesimpulan dan Seruan Kebijakan

Berdasarkan kelima pokok pemikiran tersebut, MAARIF Institute menyampaikan pandangan dan seruan berikut:

  1. Pemerintah perlu menyampaikan secara terbuka tujuan dan urgensi dari rencana evakuasi, disertai laporan asesmen kesiapan serta analisis risiko yang telah dilakukan secara komprehensif.
  2. Kebijakan luar negeri Indonesia harus tetap konsisten dengan prinsip bebas aktif, tanpa intervensi dari kekuatan geopolitik manapun, termasuk tekanan dari Amerika Serikat yang dapat mengganggu stabilitas sosial-politik dalam negeri.
  3. Indonesia perlu tampil sebagai pelopor di dunia Islam yang secara tegas menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Bukan hanya memperkuat solidaritas global, tetapi juga memimpin inisiatif strategis bersama komunitas internasional agar ekspansi penjajahan tidak mendapat celah untuk berkembang.

MAARIF Institute tetap berkomitmen memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan demokrasi dalam skala nasional maupun global. Kami meyakini bahwa setiap kebijakan publik, terlebih yang menyangkut nyawa dan martabat manusia, harus dilandasi oleh keberpihakan yang utuh pada prinsip keadilan, solidaritas, dan perjuangan melawan penindasan—tanpa ruang kompromi.

Read Entire Article
| | | |